KANTOR ADVOKAT "SURJO & PARTNERS"

Sabtu, 27 Juli 2013

UU RI No.20 TAHUN 2001 tentang PERUBAHAN ATAS UU RI No.31 TAHUN 1999 tentang PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :
  1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
  1. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
  1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
  2. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
  1. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
  2. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
  3. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
  4. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.


Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.


Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
  1. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
  2. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
  3. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.


Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
  1. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
  2. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
  3. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
  4. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
  5. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
  6. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
  7. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
  8. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
  9. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
  1. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12 A
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).


Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
  2. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


Pasal 12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(1) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

BADAN PEMBERANTAS KORUPSI INDONESIA

A. TIM PEMBERANTASAN KORUPSI
Dasar Hukum : Keppres Nomor 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 & Tugas TIM PEMBERANTASAN KORUPSI : Membantu pemerintah memberantas korupsi dengan tindakan preventif dan represif.

B. KOMITE ANTI KORUPSI (KAK)
Komite Anti Korupsi dibebentuk tahun 1970.

C. KOMISI EMPAT
Dasar Hukum : Keppres Nomor 12 Tahun 1970 tanggal 31 Januari 1970 & Tugas KOMISI EMPAT : a.Menghubungi pejabat atau instansi, swasta sipil atau militer; b.Memeriksa dokumen administrasi pemerintah; c.Meminta bantuan aparatur pemerintah pusat dan daerah.

D. OPSTIB
Dasar Hukum : Inpres Nomor 9 Tahun 1977 & Tugas OPSTIB : a.Pada awalnya pembersih pungutan liar di jalan-jalan, penertiban uang siluman di pelabuhan, baik pungutan tidak resmi maupun resmi tetapi tidak sah menurut hukum ; b.Pada 1977 diperluas sasaran penertiban, beralih dari jalan raya ke aparat departemen dan daerah.

E. TIM PEMBERANTASAN KORUPSI (TPK)
Dasar Hukum : TPK dihidupkan lagi tanpa dibarengi dengan keluarnya keppres yang baru.

F. KOMISI PEMERIKSA KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA (KPKPN)
Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 dan Keppres Nomor 27 Tahun 1998 & Tugas KPKPN : Melakukan pemeriksaan kekayaan pejabat negara.

G. TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TGPTPK)
Dasar Hukum : Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 & Tugas TGPTPK : Mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang sulit ditangani Kejaksaan Agung.

DASAR HUKUM PENCEMARAN NAMA BAIK YANG DILAKUKAN LEWAT MEDIA ELEKTRONIK


Dasar hukum yang dapat dijadikan sebagai laporan pencemaran nama yang dilakukan lewat media elektronik yaitu Pasal  27 ayat (3) jo.Pasal 45 ayat (1) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ("UU ITE") dan Pasal 310 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tentang Penghinaan.

Setelah terbukti dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) mengenai pidana dimaksud maka dapat diajukan gugatan perdata perbuatan melawan hukum Pasal 1372 KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Pasal 27 ayat (3) UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ("UU ITE") :
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".

Pasal 45 ayat (1) UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ("UU ITE") :
"Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".

Pasal 310 KUHP :
"Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".
Pasal 310 KUHP tersebut harus dibuktikan unsur-unsur sebagai berikut: 1. Unsur Kesengajaan, 2. Unsur menyerang kehormatan dan nama baik, 3. Unsur di muka umum.
 
Pasal 1372 KUHPerdata :
"Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik".

Untuk membuktikan hal tersebut tidak mudah mengingat kejahatan yang demikian bersifat maya (cyber crime) namaun demikian bukti permulaan hasil cetakan (print out) yang menunjukkan pencemaran tersebut dapat digunakan sebagai olah data dan informasi oleh penyidik dan juga kehadiran ahli di bidang informasi dan teknologi diperlukan membantu menterjemahkan fakta dalam dunia maya tersebut menjadi fakta hukum.

Kamis, 25 Juli 2013

AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM

Ahli waris dari laki-laki ada 10:
  1. Anak laki-laki
  2. Cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah
  3. Ayah
  4. Kakek dan seterusnya ke atas
  5. Saudara laki-laki
  6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan) walaupun jauh (seperti anak dari keponakan)
  7. Paman
  8. Anak laki-laki dari paman (sepupu) walaupun jauh
  9. Suami
  10. Bekas budak laki-laki yang dimerdekakan
Ahlis waris dari perempuan ada 7:
  1. Anak perempuan
  2. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) dan seterusnya ke bawah
  3. Ibu
  4. Nenek dan seterusnya ke atas
  5. Saudara perempuan
  6. Istri
  7. Bekas budak perempuan yang dimerdekakan
Hak waris yang tidak bisa gugur:
  1. Suami dan istri
  2. Ayah dan ibu
  3. Anak kandung (anak laki-laki atau perempuan)
Yang tidak mendapatkan waris ada tujuh:
  1. Budak laki-laki maupun perempuan
  2. Budak yang merdeka karena kematian tuannya (mudabbar)
  3. Budak wanita yang disetubuhi tuannya dan melahirkan anak dari tuannya (ummul walad)
  4. Budak yang merdeka karena berjanji membayarkan kompensasi tertentu pada majikannya (mukatab)
  5. Pembunuh yang membunuh orang yang memberi waris
  6. Orang yang murtad
  7. Berbeda agama

Ashobah yaitu orang yang mendapatkan warisan dari kelebihan harta setelah diserahkan pada ashabul furudh.
Urutan ‘ashobah dari yang paling dekat:
  1. Anak laki-laki
  2. Anak dari anak laki-laki (cucu)
  3. Ayah
  4. Kakek
  5. Saudara laki-laki seayah dan seibu
  6. Saudara laki-laki seayah
  7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan seibu (keponakan)
  8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah (keponakan)
  9. Paman
  10. Anak paman (sepupu)
  11. Jika tidak didapati ‘ashobah, baru beralih ke bekas budak yang dimerdekakan
 Ashabul furudh yaitu orang yang mendapatkan warisan berdasarkan kadar yang telah ditentukan dalam kitabullah.
Kadar waris untuk ashabul furudh:
  1. 1/2
  2. 1/4
  3. 1/8
  4. 2/3
  5. 1/3
  6. 1/6
Ashabul furudh yang mendapatkan 1/2 ada lima:
  1. Anak perempuan
  2. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan)
  3. Saudara perempuan seayah dan seibu
  4. Saudara perempuan seayah
  5. Suami jika tidak memiliki anak atau cucu laki-laki
Ashabul furudh yang mendapatkan 1/4 ada dua:
  1. Suami jika istri memiliki anak atau cucu laki-laki
  2. Istri jika tidak memiliki anak atau cucu laki-laki
Ashabul furudh yang mendapatkan 1/8:
-          Istri jika memiliki anak atau cucu laki-laki
Ashabul furudh yang mendapatkan 2/3 ada empat:
  1. Dua anak perempuan atau lebih
  2. Dua anak perempuan dari cucu laki-laki (cucu perempuan) atau lebih
  3. Dua saudara perempuan seayah dan seibu atau lebih
  4. Dua saudara perempuan seayah atau lebih
Ashabul furudh yang mendapatkan 1/3 ada dua:
  1. Ibu jika si mayit tidak dihajb
  2. Dua atau lebih dari saudara laki-laki atau saudara perempuan  yang seibu
Ashabul furudh yang mendapatkan 1/6 ada tujuh:
  1. Ibu jika memiliki anak atau cucu, atau memiliki dua atau lebih dari saudara laki-laki atau saudara perempuan
  2. Nenek ketika tidak ada ibu
  3. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) dan masih ada anak perempuan kandung
  4. Saudara perempuan seayah dan masih ada saudara perempuan seayah dan seibu
  5. Ayah jika ada anak atau cucu
  6. Kakek jika tidak ada ayah
  7. Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu
 Hajb atau penghalang dalam waris:
  1. Nenek terhalang mendapatkan waris jika masih ada ibu
  2. Kakek terhalang mendapatkan waris jika masih ada ayah
  3. Saudara laki-laki seibu tidak mendapatkan waris jika masih ada anak (laki-laki atau perempuan), cucu (laki-laki atau perempuan), ayah dan kakek ke atas
  4. Saudara laki-laki seayah dan seibu tidak mendapatkan waris jika masih ada anak laki-laki, cucu laki-laki, dan ayah
  5. Saudara laki-laki seayah tidak mendapatkan waris jika masih ada anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah dan saudara laki-laki  seayah dan seibu
Kaedah yang perlu diingat: Siapa yang tumbuh dari si fulan, selama si fulan ini ada, maka ia tidak mendapatkan warisan. Misalnya seorang cucu tidaklah mendapatkan waris jika masih ada anak si mayit (ayah dari cucu tadi).

Yang menyebabkan saudara perempuan mendapatkan jatah separuh laki-laki karena adanya 4 orang:
  1. Anak laki-laki
  2. Cucu laki-laki
  3. Saudara laki-laki seayah dan seibu
  4. Saudara laki-laki seayah
Paman laki-laki, anak laki-laki dari paman (sepupu), anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan) dan tuan yang membebaskan budak mendapatkan waris tanpa saudara-saudara perempuan mereka.

ASAS-ASAS DALAM HUKUM WARIS ISLAM

1.Asas integrity  (ketulusan)
Integrity artinya ketulusan hati, kejujuran, atau keutuhan. Asas ini mengandung pengertian bahwa melaksanakan hukum kewarisan dalam islam, di perlukan ketulsan hati menaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini kebenaranya. ( taat pada syariat islam / kitab suci Al-Quran) (Qs. Ali ‘Imran {3}: 85)
2.Asas ta’abbudi (penghambaan diri)
Maksud dari asas ta’abuddi adalah melaksanakan hukum waris sesuai syariat islam adalah bagian dari ibadah kepada Allah Swt Sebagai ibadah, dan tentunya mendapatkan berpahala
Bila ditaati seperti menaati hukum-hukum islam lainya. (Qs. An Nissa’ {4}: 13-14)
3.Asas Huququl Maliyah (Hak-Hak kebendaan)
Maksud dari huququl maliyah adalah hak-hak kebendaan. Artinya, hanya hak dan kewajiban kebendaan (benda yang berbentuk) yang dapat di wariskan kepada ahli waris. segala Hal-hal kewajiban yang bersifat pribadi tidak dapat di wariskan. (kompilasi hukum islam pasal 175)
4. Asas Huququn thabi’iyah (Hal-Hak Dasar)
Pengertian Huququn thabi’iyah adalah hak-hak dasar dari ahli waris sebagai manusia. Artinya, meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir atau seorang yang sudah sakit menghadapi kematian sedangkan ia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Begitu juga suami istri belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, Maka dipandang cakap mewarisi harta tersebut. Ada dua syarat seorang bisa mendapat hak warisan.
  1. Melalui hubungan perkawinan yang seagama
  2. Keluaraga yang mempunyai hubungan darah/genetik (Baik anak cucu atau saudara)
Dan ada pula beberapa penghalang kewarisan.
  1. Keluar dari islam (Murtad)
  2. Membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris
  3. Di persalahkan telah memfitnah pewaris melakukan kejahatan.
 5. Asas ijbari (keharusan, kewajiban)
Asas ini adalah yang mengatur tata cara peralihan secara otomatis harta dari seorang, baik pewaris maupun ahli waris sesuai dengan ketetapan Allah swt. Tanpa di gantung terhadap kehendak seseorang.baik pewaris maupun ahli waris.
Asas ijbari ini dapat juga dilihat dari segi yang lain, yaitu:
  1. Peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia
  2. Jumlah harta sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris.
  3. Orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah di tentukan dengan pasti, yakni orang yang mempunyai hubungan darah dan perkawinan.
 6. Asas bilateral
Asas bilateral mengandung makna bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan.
(Qs. An-Nisaa’{4}:7) (Qs. An-Nisaa’{4}:11-12) (Qs. An-Nisaa’{4}:176)
7. Asas individual
Asas ini menyatakan harta warisan dapat di bagi kepada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaanya seluruh harta di nyatakan dalam nilai tertentu. Yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang dapat menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. (Qs. An-Nisaa’{4}:8) (Qs. An-Nisaa’{4}:33)
8.  Asas keadilan yang berimbang
Asas ini mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang harus di tunaikanya Misalnya. Laki-laki dan perempuan mendapatkan hak yang sebanding dengan kewajiban yang di pikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan bermasyarakat seorang laki laki menjadi penanggung jawab daalam kehidupan keluarga. Mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya sesuai kemampuanya. (Qs. Al-Baqarah {2}:233)
(Qs. Ath-Thalaaq{65}:7)
9.  Asas kematian
Makna asas ini menandaka bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Harta seseorang tidak bisa beralih ke orang lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup. (tidak mengenal kewariasan atas dasar wasiat)
10.  Asas membagi habis harta warisan.
Membagi semua harta peningalan (warisan) hingga tak tersisa adalah makna dari asas ini. Hal tersebut  dari proses menghitung dan menyelesaikan pembagian harta warisan. Caranya, dengan menentukan ahli waris berserta bagianya masing-masing, membersihkan atau memurnikan dari hutang dan wasiat, sampai melaksanakan pembagian hingga tuntas.
Asas ini mengindarkan dari semua jumlah ahli waris lebih besar daripada masalah yang ditetapkan. Ataupun yang sebaliknya. (kmpilasi hukum islam 192 & 193)

CONTOH PEMBAGIAN HAK WARIS BERDASARKAN HUKUM WARIS ISLAM

Bambang meninggal dengan para ahli waris sebagai berikut : seorang istri, 1 (satu) orang anak laki-laki, dan 1 (satu) orang anak perempuan. Harta warisnya senilai Rp 100.000.000,- (seratus ratus juta rupiah). Berapakah perhitungan bagian ahli waris masing-masing yang di dapatkannya menurut hukum waris islam ?
Jawabnya:
Dalam hukum waris Islam, istri merupakan ash-habul furudh, yaitu ahli waris yang mendapat bagian harta waris dalam jumlah tertentu. Istri mendapat 1/4 (seperempat) jika suami yang meninggal tidak mempunyai anak, dan mendapat 1/8 (seperdelapan) jika mempunyai anak. (Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Risalah fil Faraidh, hal. 7).
Dalam kasus ini suami mempunyai anak, maka bagian istri adalah 1/8 (seperdelapan) sesuai dalil Al-Qur`an : “Jika kamu (suami) mempunyai anak, maka para istri itu memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan…” (QS An-Nisaa’: 12).
Sedangkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan adalah ashabah, yaitu ahli waris yang mendapat bagian harta waris sisanya setelah diberikan lebih dulu kepada ash-habul furudh.
Kedua anak tersebut mendapat harta sebanyak = 7/8 (tujuh perdelapan), berasal dari harta asal dikurangi bagian ibu mereka (1 – 1/8 = 7/8).
Selanjutnya bagian 7/8 (tujuh perdelapan) itu dibagi kepada kedua anak tersebut dengan ketentuan bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan sesuai dalil Al-Qur`an : “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anakmu, yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS An-Nisaa’: 11)
Maka bagian anak perempuan = 1 bagian dan bagian anak laki-laki = 2 bagian. Maka harta ashabah tadi (7/8) akan dibagi menjadi 3 bagian (dari penjumlahan 1 + 2 ). Atau penyebutnya adalah 3. Jadi bagian anak perempuan = 1/3 dari 7/8 = 1/3 X 7/8 = 7/24, dan bagian anak laki-laki = 2/3 dari 7/8 = 2/3 X 7/8 = 14/24.
Berdasarkan perhitungan di atas, maka bagian istri = 1/8 X Rp 100 juta = Rp 12,5 juta. Bagian anak perempuan = 7/24 x Rp 100 juta = Rp 29,2 juta. Sedang bagian anak laki-laki adalah = 14/24 x Rp 100 juta = Rp 58,3 juta.


Rabu, 24 Juli 2013

KAMUS HUKUM

Fiat Justitia Ruat Caelum: Keadilan harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh~(Lucius Calpurnius Piso Caesoninus).
Fiat Justitia, Et Pereat Mundus: Keadilan akan tetap ada meskipun dunia akan musnah~(Philipp Melanchthon).
Law Is a Tool Of Social Engineering: Hukum merupakan alat untuk pembangunan mayarakat~(Roscoe Pound).
Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman (Blaise Pascal dan dikutip oleh Mochtar Kusumaatmadja).
Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum (Satjipto Rahardjo dalam teori hukum progresif).
Ubi Societas Ibi Ius (Cicero): Hukum hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Equality Before The Law: Setiap orang memiliki derajat yang sama di mata hukum.
Acta Extoria Indicant Interiora Secreta: Perbuatan luar menunjukkan maksud.
Actus Curiae Neminem Gravabit: Tindakan pengadilan tidak akan menyakiti siapapun.
Judex Non Ultra Petita: Hakim tidak memberi keputusan kepada apa yang tidak dituntut.
Jura Novit Curia: Pengadilan mengetahui hukum.
Nullum Delictum Noela Poena Sine Praevia Lege Poenali: Tidak ada suatu perbuatan dapat dihukum tanpa ada peraturan yang mengaturnya terlebih dahulu. (Asas Legalitas)
Ignorantia Excusatur Non Juris Sed Facti – Ignorance Of Fact Is Excused But Not Ignorance Of Law: Ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat dimaafkan tapi tidak demikian halnya ketidaktahuan akan hukum.
Juris Quidem Ignorantium Cuique Nocere, Facti Verum Ignorantiam Non Nocere – Ignorance Of Law Is Prejudicial To Everyone, But Ignorance Of Fact Is Not: Pengabaian terhadap hukum akan merugikan semua orang; tetapi pengabaian terhadap fakta tidak.
Ignorantia Judicis Est Calanitax Innocentis – The Ignorance Of The Judge Is The Misfortune Of The Innocent: Ketidaktahuan hakim ialah suatu kerugian bagi pihak yang tidak bersalah.
Judex Set Lex Laguens – The Judge Is The Speaking Law: Sang hakim ialah hukum yang berbicara.
Judex Debet Judicare Secundum Allegata Et Probata – The Judge Ought To Give Judgment According To The Allegations And The Proofs: Seorang hakim harus memberikan penilaian berdasarkan fakta-fakta dan pernyataan.
Judex Non Ultra Petita atau Ultra Petita Non Cognoscitur: Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya.
Judex Ne Procedat Ex Officio: Hakim bersifat pasif menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya.
Judex Herbere Debet Duos Sales, Salem Sapientiae, Ne Sit Insipidus, Et Salem Conscientiae, Ne Sit Diabolus – A Judge Should Have Two Silts; The Salt Of Wisdom, Lest He Be Foolish; And The Salt Of Conscience, Lest He Be Devilish: Seorang hakim harus mempunyai dua hal: suatu kebijakan, kecuali dia adalah orang yang bodoh; dan hati nurani, kecuali dia mempunyai sifat yang kejam.
Udex Non Reddit Plus Wuam Quod Petens Ipsse Requirit – A Judge Does Not Give More Than The Plaintiff Himself Demands: Seorang hakim tidak memberikan permintaan lebih banyak dari si penuntut.
Exceptio Plurium Litis Consortium: tangkisan dengan alasan masih ada pihak lain yang harus ikut dalam perkara itu.
Uno Falsus Umno Omnibus: peraturan dasar yang salah, menyebabkan produk turutannya menjadi tidak sah.
Affirmanti Incumbit Probate: barang siapa yang mendalilkan harus membuktikan.
Pacta Sunt Servanada: Kekuatan perjanjian itu sekuat undang-undang bagi para pihaknya
Audi Alteram Partem: Hakim harus mendengarkan kedua belah pihak.
In Dubio Pro Reo: Dalam keragu2an hakim memberikan putusan yang menguntungkan untuk terdakwa.
Ultimum Remedium: Perbaikan/upaya yang paling akhir digunakan biasa dikaitin sama pidana gan. pemidanaan sebagai ultimum remidium.
Semakin tinggi kekuasaan seseorang, semakin sedikit hukum yang mengaturnya” – Satjipto Raharjo (Quote ini mirip banget sama realita hukum Indonesia).
Quid Leges Sine Moribus: Apalah artinya hukum tanpa moralitas.
Unus Testis Nullus Testis: Satu saksi bukan saksi.
Een Leder Wordt Geacht De Wet Te Kennen: Setiap orang dianggap tahu undang-undang.
Ignorantia Iuris Neminem Excusat: Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat dijadikan alasan pemaaf atau membebaskan orang itu dari tuntutan hukum.
Homo Homini Lupus: Manusia adalah serigala bagi sesamanya.
Ius Suum Cuique Tribuerae: Berikan keadilan bagi semua orang yang berhak.

Selasa, 23 Juli 2013

KAMUS HUKUM DALAM BAHASA INGGRIS


- Abrogasi : abrogate
- Akta : deed
- Akta bawah tangan : Underhand Deed; Privately made Deed
- Alias : a.k.a; also known as
- Alimentasi perceraian dibayarkan sekaligus : lump-sum alimony
- Aneksasi : annexation
- Anggaran Dasar : Article of Association
- Angka Pengenal Importir Umum : General Importer Identification Number
- Angsuran/cicilan : installment
- Asuransi : Insurance
- Asuransi Tenaga Kerja : Manpower Insurance
- Ayat : verse / paragraph
- Bab : Chapter
- Badan hukum : legal entity
- Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) : Capital Market Supervisory Board
- Banding : appeal
- Bapak dari anak luar kawin : putative father
- Barang bergerak : movable asset
- Barang tidak bergerak : immovable asset
- Batal demi hukum : void ab initio
- Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan: Land and Building Acquirement Tax
- Bentuk Usaha Tetap : Permanent Business Form
- Berlaku surut : retroactive
- Bertindak atas nama : a.o.b; act on behalf
- Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor : Proof of Vehicle Ownership
- Buku Besar (akuntansi) : General Ledger
- Bunga Tetap : Fixed rate interest
- Bunga Mengambang : Floating rate interest
- Bursa Efek : Stock Exchange
- Cacat dalam hukum : Legal defect
- Cek : Cheque
- Cessie : Assignment of Claim
- Cuti : Leave
- Cuti haid : Menstruation Leave
- Cuti hamil : Meternity Leave
- Cuti panjang : Long service Leave
- Cuti tahunan : Annual Leave
- Daluwarsa : expire ; expiration
- Dapat dibatalkan : voidable
- Dasar Hukum : Cause of Action
- Dicabut : repealed
- Dewan Direksi : Board of Directors
- Dewan Komisaris : Board of Commissioners
- Domisili suami-istri : matrimonial domicile
- Diundangkan : promulgated
- Efek : Securities
- Efektifitas / Keberlakuan : Efficacy
- Eksekusi (putusan pengadilan) : Enforcement (of a judicial order)
- Eksekusi hak tanggungan : Foreclosure
- Emiten : Issuer / company issuing securities
- Ex aquo et bono : Fairly and equitably
- Fasilitas dana talangan : Bridging facilities
- Ijin Kerja Tenaga Asing (IKTA) : Foreign Worker Working Permit
- Fatwa : Legal Opinion
- Fiat Eksekusi : Write of Execution
- Fitnah : Aggravated Defamation
- Formasi : Seniority (required to do a particular act)
- Gaji : Salary
- Gadai : pledge
- Ganti rugi : Demages
- Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) : Broad Outlines of State Policy
- Grasi : Commutation of sentence
- Gugatan : plaint; complaint, civil action, Suit, Legal Action
- Gugat balik : Counterclaim
- Gugatan penggugat : Statement of claim
- Hakim : judge; judex factie, justice
- Hakim pengganti : judge pro tempore
- Hak Pakai : Right To Use
- Hipotik : mortgage
- Ibu rahim : surrogate mother
- Ijin Mendirikan Bangunan : License to Build
- Ijin Usaha Tetap : Permanent Business License
- Ilmu hukum : jurisprudence
- Itikad baik : good faith
- Itikad buruk : bad faith; mala fides
- Jaksa : solicitor
- Jaminan Fidusia : Fiduciary assignment
- Jaminan Perorangan : Personal Guarantee
- Jaminan Sosial Tenaga Kerja : Employee Social Security
- Janji kawin / janji nikah : wedding engagement
- Kerja sampingan (di malam hari) : moonlighting (in the night)
- Klausul larangan (untuk melakukan sesuatu) : Negative covenant (to do something)
- Kredit macet : non-performing loan
- Kurator : receiver
- Kantor Panitera Pengadilan Negeri : Clerk Office of District Court
- KITAS (Kartu Ijin Tinggal Sementara) : Temporary Stay Permit
- Kelalaian : negligence
- Keputusan Presiden : President Decree
- Ketertiban umum : public policy
- Kesusilaan : decency
- Lalai : Negligent
- Lampiran : Exhibit
- Laporan pertanggungjawaban : Accountability report
- Lembaga pemasyarakatan : Correctional facility
- Lembaga penyiaran : Broadcasting authority
- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) : Community Empowerment Organization
- Lembaga Negara : State Gazette
- Lepas : Acquittal
- Lisensi : license
- Lisensi wajib : Compulsory license
- Luas : acreage
- Luka berat : Grievous bodily harm
- Membebankan : to encumber
- Mengemudi sambil mabuk : driving while intoxicated (DWI)
- Minuta (akta) : Minute
- Mengakumulasikan Keuntungan kembali ke dalam modal: plow back
- Modal dasar : Authorised Capital
- Modal ditempatkan : issued capital
- Modal disetor : paid-up capital
- Membatalkan/menarik kembali : revoke
- Mencabut : repeal
- Ne bis in idem : double jeopardy
- Neraca T : T account
- Nomor Pokok Wajib Pajak : Mandatory Taxpayer Number
- Nomor Pengusaha Kena Pajak : Taxable Entrepereneur Number
- Notaris : notary in civil law
- Novasi : Novation
- Obligasi : bond
- Obligasi yang dapat dikonversi ke saham : Convertible bond
- Obyek jaminan : lien
- Orang awam : layman
- Otoritas : Otority
- Pasal : article
- Pajak Pertambahan Nilai : Value Added Tax
- Pajak barang mewah (PPN BM) : Value Added luxury tax
- Pasangan dalam perkawinan yang tidak sah : putative spouse
- Pembanding : appellant
- Pembatalan : Nullification; annulment
- Pembayar premi (Penanggung) : Insurer
- Pembebanan (barang sebagai jaminan) : encumbrance
- Pembebasan tanah : land relinquishment
- Pemberi donasi : Donor
- Pemberi hipotik : mortgagor
- Pemberi jaminan Fidusia : Fiduciary assignor
- Pemberi lisensi : licensor
- Pemberi sewa : lessor
- Pemberi gadai : pledgor
- Pemberi janji : promissor
- Pembiayaan : financing
- Pemegang saham : shareholder/stockholder
- Pemegang hak paten : patentee
- Pemilikan : property
- Pemilik benda jaminan : lienee
- Pemutusan Hubungan Kerja (oleh majikan) : layoff
- Penerima donasi : Donee
- Penerima/pemegang jaminan : lienor
- Penerima gadai : pledgee
- Penerima hipotik : mortgagee
- Penerima jaminan Fidusia : Fiduciary assignee
- Penerima janji : promissee
- Penerima lisensi : licensee
- Penarikan kembali/pembatalan : revocation
- Penebangan kayu illegal : illegal logging
- Pengadilan Negeri : District Court (of Justice)
- Pengadilan Tinggi : High Court (of Justice)
- Mahkamah Agung : Supreme Court (of Justice)
- Pengakuan hutang : debt acknowledgement
- Pengganti (dalam subrogasi) : subrogor
- Penguasaan : possession
- Penggugat : plaintiff
- Penggugat (dalam arbitrase) : complainant
- Penundaan : postponement
- Pengundangan : promulgation
- Peninjauan Kembali : Judicial Review
- Penuntut (umum) : (public) prosecutor
- Penuntut (JK= wanita) : prosecutrix
- Penyewa; penerima sewa : lessee
- Penyitaan : seizure/confiscation
- Peraturan Pemerintah : Government Regulation
- Perbuatan Melawan Hukum : tort; unlawful act
- Perceraian mutlak : Divorce a vinculo matrimonii
- Perhitungan Laba-Rugi : profit and lost account
- Perjanjian kredit sindikasi : syndicated loan agreement
- Perjanjian pranikah : prenuptial agreement
- Perkawinan yang tidak sah : putative marriage
- Permohonan : petition ; application
- Persetujuan diam-diam : tacit consent
- Persekutuan / permitraan : partnership
- Persentase bunga / tingkat bunga : interest rate
- Per tahun : per annum
- Perusahaan Perorangan : Proprietorship
- Peta situasi : situation map
- Penyelesaian secara damai : amicable settlement
- Pinjaman dengan jaminan : collateral loan; secured loan
- Pisah meja dan tempat tidur : Divorce a mensa et thoro; limited divorce
- Premi Asuransi : insurance Premium
- Putusan sela : interlocutory decision (judgement)
- Putusan akhir : final judgement 
- Rapat Umum Pemegang Saham : General Meeting of Shareholders
- Reksa dana : mutual fund
- Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing : Foreign Worker Employment Plan
- Rencana Umum Tata Ruang : master plan
- Roya : deregistration
- Roya parsial : partial deregistration 
- Saham : stock/share
- Saham atas tunjuk : Bearer share
- Saksi : witness
- Saksi Ahli : Expert witness
- Sekutu komanditer : Sleeping partner
- Sertifikat Hak Guna Bangunan : Certificate of Right to Build
- Sertifikat Hak Milik : Certificate of Ownership
- Sewa-menyewa : lease
- Sewa-beli : leasing
- Sisa Hasil Usaha : Business Revenue Residu
- Sita : seize/confiscate
- Subrogasi : subrogation
- Sumpah : oath
- Surat cekal (larangan meninggalkan kota/negara) : Ne exeat
- Surat Keterangan Lapor Diri : Self Report Information Letter
- Surat Keterangan Penduduk Pendatang Sementara : Temporary Alien Resident Information Letter
- Surat perintah penggeledahan : search warrant
- Surat sanggup : promissory note
- Surat Setoran Pajak : Tax Payment Form
- Surat Tanda Lapor Diri : Self Report Confirmation/Verification Letter
- Surat utang jangka panjang (2-10 tahun) : T-bond
- Surat utang jangka pendek (12 bulan) : T-bills 
- Tanda Daftar Perusahaan : Company Registration Number
- Tanggung renteng : jointly
- Terbanding : appellee
- Terdakwa : malefactor
- Tergugat : defendant
- Tergugat (dalam arbitrase) : respondent
- Tertanggung asuransi : Insured
- Tidak sah atau mengikat : null and void
- Tuntut : prosecute
- Turut tergugat : co-defendant 
- Upah Minimum Provinsi : Minimum Provincial Wages
- Usia dewasa : lawful age; legal age
- Visa Berdiam Sementara : Temporary Residence Visa
- Wajib Lapor Tenaga Kerja : Mandatory Manpower Report 
- Yang digantikan (dalam subrogasi) : subrogee
- Yurisprudensi : precedent
- Penerima janji : obligee
- Pemberi janji : obligor

Senin, 22 Juli 2013

MEMAHAMI PROFESI HUKUM ADVOKAT DALAM PERKARA PERDATA

Dalam peradilan perdata, advokat berkedudukan sebagai kuasa atau wakil kliennya. Landasan hukum advokat dalam peradilan perdata adalah Pasal 123 HIR (Reglemhet Herziene Indladsch ent) Pasal 123 ayat (1): ” Bilamana dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau diwakilioleh kuasa yang dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa teristimewa, kecuali kalau yang memberi kuasa itu dalam surat permintaaan yang ditandatanganinya dan dimasukkan menurut ayat pertama Pasal 118 atau jika gugatan dilakukan dengan lisan menurut Pasal 120, maka dalam hal terakhir ini, yang demikian itu harus disebutkan dalam catatan yang dibuat dengan surat gugat ini.

Dengan Pasal 123 HIR ini, hukum acara perdata mengenal adanya sistem lembaga perwakilan. Sehingga peran advokat dapat membantu pihak-pihak yang berpekara dalam mempertahankan hukum perdata materiil. Hukum perdata bagi seorang advokat adalah seorang interprestasi dan perang ilmiah, karena itu sebagai advokat mencoba mempertahankan unsur-unsurnya di dalam hukum acara.

Dasar adanya sistem lembaga perwakilan adalah dikarenakan masih banyaknya pencari keadilan yang kurang mampu atau kurang memahami dalam mengajukan gugatan dan tangkisan dengan rumusan sedemikian rupa. Oleh karena itu, lembaga perwakilan bermaksud menjaga agar jangan sampai pihak-pihak pencari keadilan dirugikan hanya membuat kesalahan-kesalahan elementer dalam hukum acara perdata yang terikat oleh banyaknya peraturan dan macam-macam formalitas.

Oleh karena itu, sebagai advokat yang bertindak untuk dan atas nama kliennya diharuskan memiliki kemampuan dan keberanian berpekara, apalagi mengingat kliennya telah memberikan kepercayaan yang besar padanya.

Kemampuan berpekara adalah keampuan untuk menyusun surat-surat, seperti surat gugatan, jawaban, replik, duplik, maupun kemapuan dalam memberikan pembuktian, mengajukan konklusi akhir dan lain sebagainya yang ada hubungannya dengan penyelesaian perkara di persidangan.
Hal ini disebut sebagai ketrampilan profesional, sedangkan keberanian berperkara dimaksudkan untuk berhadapan dengan lawan dan hakim di pengadilan.

Tugas advokat sebagai lembaga perwakilan adalah menyaring dan menyusun kejadian-kejadian yang ia peroleh dari kliennya, kemudian ia kumpulkan sebagai bahan untuk nantinya dituangkan dalam bentuk yuridik, yang akan dimajukan dalam sidang pengadilan.

Namun fungsi advokat sebenarnya tidak hanya terbatas di dalam pengadilan, tetapi juga di luar pengadilan. misi seorang advokat adalah memberikan bantuan hukum berdasarkan undang-undang kepada kliennya. Misalnya, seorang yang mempunyai hutang dan tidak mampu membayar, maka advokat dapat menjadi juru runding (negosiator) bagi kliennya untuk menyelesaikan masalah itu dengan jalan perdamaian tanpa harus ke pengadilan.

Sedangkan peran advokat dalam dunia usaha dapat dikatakan sebagai legal counsel atau menjadi pelobi penghubung antara dunia usaha dan badan-badan pemerintah yang biasa disebut: berfungsi sebagai regulator agencies. Dalam hal ini, advokat dapat mencegah agar perusahaan tidak mendapat kesulitan di kemudian hari.

Selain perannya beracara di pengadilan (perdata), di masa modern sekarang ini, adalah perannya dalam membuat “memorandum hukum” atau legal audit (pemeriksa hukum), dan legal opinion (pendapat hukum) dalam menangani kasus yang dihadapi klien.
Bahkan, legal audit dan legal opinion sudah menjadi keharusan atau kewajiban bagi perusahaan yang akan go public di pasar modal.

Pada umumnya, legal opinion atau legal audit ini diberlakukan dalam bidang hukum yang terkait dengan perusahaan (corporate law), walaupun legal audit dan legal opinion itu tidak semata hanya menyangkut bidang hukum perusahaan. Legal audit ini biasanya dibuat setelah membaca seluruh dokumen yang ada, dan untuk perusahaan biasanya terdiri dari: kontrak-kontrak, korespondensi, Anggaran Dasar Perusahaan beserta Perubahannya, dokumen-dokumen perusahaan lainnya, seperti: ijin usaha dan ijijn-ijin lainnya, pajak, bukti kepemilikan, dokumen pembukuan, dan dokumen lain-lain sejauh ada relevansinya dan penting dengan kasus yang bersangkutan. Sedangkan legal opinion (pendapat hukum) merupakan pandangan-pandangan hukum atau aspek-aspek hukum apa saja yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi perusahaan klien.

Jadi, pada prinsipnya, tugas advokat adalah memberikan nasehat dan pembelaan dalam arti menurut hukum kepada kliennya. Namun demikian, dalam menjalankan perannya itu, advokat mempunyai fungsi yang lebih luas lagi daripada hanya sekedar menjadi penasehat dan pembela, yakni harus mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk memajukan profesi hukum, peradilan dan hukum dalam arti luas.

Tampaknya, kita perlu meliihat apa yang telah dikemukan oleh Lord Mac Millan, seorang Lord  Advocate-General di Skatlandia dan penasehat House of Lords, yang menyatakan bahwa kewajiban seorang advokat terdiri dari 5 bagian penting, yakni: ” Dalam membela, bertindak dan menunaikan tugasnya, seorang advokat harus selalu memasukkan ke dalam pertimbangannya kewajiban terhadap klien, terhadap lawan, terhadap pengadilan, terhadap diri sendiri, dan terhadap negara.

Yang dimaksud lembaga perwakilan diatas tidak termasuk orang-orang yang menurut hukum materiil tidak atau belum dapat bertindak sendiri dalam hubungan hukum, dan tidak dapat pula menghadap sendiri di muka Hakim, yang mereka itu diwakili oleh walinya atau wakilnya menurut hukum, seperti anak di bawah umur dan orang dewasa yang sakit jiwanya. Bukan pula yang dimaksudkan dengan perwakilan badan hukum oleh pengurus dan direksinya, dan tidak termasuk ketentuan Pasal 123 ayat 2 HIR yang menyebutkan seorang Jaksa mewakili pemerintah di muka pengadilan perdata.

TUGAS ADVOKAT DAN LANDASAN HUKUM DALAM PERKARA PIDANA

Tugas advokat pada dasarnya adalah sama dengan hakim dan jaksa, yaitu menegakkan kebenaran, hukum dan keadilan. Karena itu, hak-hak advokat oleh undang-undang adalah sama dengan jaksa dan hakim.
Dalam menjalankan tugas keprofesiannya, seorang advokat, selain di luar pengadilan, akan berhadapan dengan tata cara dan tata tertib persidangan di muka pengadilan yang diatur dalam hukum acara. Hukum acara tersebut akan mengatur sejak kapan dan bagaimana seorang advokat dapat hadir dalam persidangan yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana atau perdata. Dengan demikian, profesi advokat adalah profesi yang berhubungan dengan hukum. Karena profesinya berhubungan dengan hukum, maka eksistensi advokat harus mendapat tempat dalam undang-undang. Seperti UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Dalam UU No.4 Tahun 2004 (yang merupakan perubahan dari UU No.14 Tahun 1970) ditegaskan ketentuan mengenai bantuan hukum yaitu:
  • Pasal 37: Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum;
  • Pasal 38: Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat;
  • Pasal 39: Dalam memberikan bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, advokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan;
  • Pasal 40: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 dalam undang-undang.
Mengenai hak-hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum, secara implisit diatur dalam Pasal 54, 57, dan Pasal 114 KUHAP. Secara ringkas dapat disebutkan :
  • Guna kepentingan pembelaan, tersangka berhak mendapat bantuan hukum dari penasehat hukumnya selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54);
  • Tersangka berhak memilih sendiri penasehat hukumnya (Pasal 55);
  • Kewajiban pejabat pada semua tingkat pemeriksaan untuk menunjuk penasehat hukum dalam hal tersangka/terdakwa diancam dengan pidana mati atau pidana 15 tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri (Pasal 56 ayat 1);
  • Hak mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma (Pasal 56 ayat 2);
  • Hak tersangka yang ditahan untuk menghubungi penasehat hukumnya (Pasal 57 ayat 1);
  • Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasehat hukum (Pasal 114).
Seorang advokat yang memberikan bantuan hukum kepada tersangka atau terdakwa dalam proses pemeriksaan berkedudukan sebagai Penasehat Hukum. Sebagai Penasehat Hukum, ia mempunyai beberapa ketentuan yang telah digariskan KUHAP mengenai hak-haknya, dan yang terpenting, antara lain:
  • Penasehat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap/ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini (Pasal 69).
  • Penasehat hukum berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya (Pasal 70 ayat 1).
  • Penasehat hukum atau tersangka dapat meminta turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya (pasal 72).
  • Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka setiap kali dikehendaki olehnya (pasal 73).
  • Pengurungan kebebasan hubungan antara penasehat hukum dan tersangka dalam Pasal 70 ayat (2), (3), (4) dan Pasal 71 dilarang, setelah perkara dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan untuk disidangkan (Pasal 74).
Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penasehat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan (Pasal 115 ayat 1);
Dalam hal kejahatan terhadap negara penasehat hukum dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap tersangka (Pasal 115 ayat 2). dengan ketentuan ini menandakan bahwa dalam mengikuti jalannya pemeriksaan, penasehat hukum (advokat) bersifat “pasif“.
Akan tetapi, dalam sifat pasifnya itu, apabila penahanan tidak sah atau karena ada alasan lain, maka sebagai pembela dapat menyatakan keberatan atas penahanan tersebut kepada penyidik yang melakukan penahanan itu (Pasal 123 ayat 1).
Bahkan, ia dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri setempat untuk diadakan Praperadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan itu sah atau tidak menurut hukum (Pasal 124).
Bagaimana hak advokat (penasehat hukum) jika berkas telah dilimpahkan ke Pengadilan ? maka, oleh KUHAP, penasehat hukum diberi hak :
  • Penasehat hukum terdakwa dapat mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberikan kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan (Pasal 156 ayat 1).
  • Penasehat hukum dengan perantara hakim ketua sidang diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa (Pasal 164 ayat 2 jo 165 ayat 2). Selanjutnya,
  • Penasehat hukum dengan perantara hakim ketua sidang dapat menghadapkan saksi untuk menguji kebenaran keterangan mereka masing-masing (Pasal 265 ayat 4).
  • Penasehat hukum dapat mengajukan permintaan kepada hakim ketua sidang agar diantara saksi tersebut yang tidak mereka kehendaki kehadirannya, dikeluarkan dari ruang sidang, supaya saksi lainnya di panggil masuk untuk didengar keterangannya, baik seorang demi seorang maupun bersama-sama (pasal 172 ayat 2).
  • Penasehat hukum dapat menyatakan keberatan dengan alasan terhadap hasil keterangan saksi ahli dan hakim dalam hal ini dapat memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang (Pasal 180 ayat 2).
  • Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana (pasal 182 ayat 1a); selanjutnya terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan pembelannya (Pasal 182 ayat 1b). kemudian hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim, maupun atas permintaan penasehat hukum dengan memberikan alasannya (Pasal 182 ayat 2).

    Dengan ketentuan tersebut, dalam proses pemeriksaan terdakwa di pengadilan, penasehat hukum (advokat) bertindak secara “aktif”, artinya ia dapat mengajukan hak-haknya seperti yang dimiliki oleh hakim dan penuntut umum, yaitu hak mengajukan pertanyaan, hak mengajukan pembuktian, hak mengajukan saksi-saksi (termasuk saksi a de charge atau saksi yang meringankan, dan juga saksi ahli), hak mengajukan pembelaan atau pledooi.

Selasa, 16 Juli 2013

FIAT JUSTIITIA RUAT COELUM "Keadilan Harus Tetap Ditegakkan Biarpun Langit Akan Runtuh"


Masa Penahanan Dalam Hukum Acara Pidana

KEPOLISIAN : 20 hari + 40 hari perpanjangan
KEJAKSAAN : 20 hari + 30 hari perpanjangan
PENGADILAN NEGERI : 30 hari + 60 hari perpanjangan
PENGADILAN TINGGI : 30 hari + 60 hari perpanjangan
MAHKAMAH AGUNG : 50 hari + 60 hari perpanjangan

Pasal 22 ayat (1), menyebutkan jenis-jenis tahanan sebagai berikut :
  • PENAHANAN RUMAH TAHANAN NEGARA
  • PENAHANAN RUMAH
  • PENAHANAN KOTA

Hak-Hak Terdakwa Dalam Sidang Pengadilan

Asas praduga tak bersalah merupakan asas utama pemberian perlindungan hukum bagi terdakwa dalam proses persidangan berdasarkan bunyi Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 18 ayat (1)

Hak-Hak Terdakwa Dalam Pemeriksaan Pengadilan ;
  • Hak diadili dengan segera - Pasal 50 KUHAP;
  • Hak didampingi oleh Penasehat Hukum atau Pengacara - Pasal 54 KUHAP;
  • Hak untuk disediakan Penasehat Hukum atau Pengacara secara cuma-cuma oleh Negara - Pasal 54 KUHAP;
  • Hak untuk diperiksa dalam persidangan terbuka untuk umum - Pasal 64 KUHAP;
  • Hak untuk dipanggil sidang pertama secara sah - Pasal 145 dan Pasal 146 KUHAP;
  • Hak mendapatkan penjelasan atas surat dakwaan - Pasal 155 KUHAP;
  • Hak mengajukan eksepsi dan pembelaan - Pasal 72, 143 ayat (3), Pasal 156 ayat (1), Pasal 182  KUHAP;
  • Hak mengajukan perlawanan terhadap putusan sela - Pasal 156 ayat (2), Pasal 156 ayat (4) KUHAP;
  • Hak menolak memberikan keterangan atau mencabut BAP Pasal 52, Pasal 66, Pasal 166, Pasal 175 KUHAP;
  • Hak mengajukan saksi yang meringankan - Pasal 184, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) KUHAP;
  • Hak membantah terhadap keterangan saksi - Pasal 164 ayat (1) KUHAP;
  • Mosi tidak percaya - Pasal 157 KUHAP dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;
  • Hak memperoleh juru bahasa dan penerjemah - Pasal 53, Pasal 177, Pasal 178 KUHAP;
  • Hak untuk melihat barang bukti - Pasal 181, Pasal 45 KUHAP;
  • Hak melakukan upaya hukum banding - Pasal 67, Pasal 196 ayat (2), Pasal 263 ayat (3) KUHAP.

     

Memahami Hukum Acara Pidana Berkaitan Dengan HAM

Pada prinsipnya, seseorang yang dalam pemeriksaan kepolisian, terutama bagi yang diduga melakukan suatu tindak pidana harus dipahami benar bahwa belum bisa atau dapat dikatakan sebagai orang yang bersalah hingga keluarnya putusan tetap dari pengadilan;
  • Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan sebagai berikut ; ” Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  • Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang  Hak Asasi Manusia Pasal 18 ayat (1), yang menyebutkan sebagai berikut ; ” Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Kedua pasal tersebut, jelas dan tegas bahwa setiap orang yang mengalami pemeriksaan di tingkat kepolisian adalah bukan orang yang bersalah atau bukan sebagai hukuman.
Ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan suatu penghargaan yang tinggi terhadap HAM bagi setiap warga negara, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang berada di wilayah hukum Indonesia, yang diduga atau disangkakan melakukan suatu tindak pidana, yang  menyebutkan sebagai berikut ; ” Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.”

Semoga sedikit penjelasan ini bermanfaat dan sebagai warga negara harus berani mengatakan dan mempertahankan kebenaran demi tegaknya keadilan di Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta.